Jawa Pos
Francis Palmos berjalan cepat menuju ruang tunggu hotel bersejarah di Jalan Tunjungan,
Surabaya, Rabu (22/4). Dulu
hotel itu bernama Hotel Oranje, tempat perobekan bendera Belanda pada 19
September 1945. Kini hotel tersebut berganti nama menjadi Hotel Majapahit.
Melihat
cara berjalannya yang masih lincah, mungkin banyak yang tidak percaya bahwa
pria Australia itu sudah berusia 75 tahun. Frank, begitu dia minta disapa,
memang punya kenangan khusus berada di hotel berarsitektur Belanda tersebut.
Karena itu, dalam kunjungan bersama istrinya, Alison Palmos, ke Indonesia pekan
lalu, dia menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah,
terutama di Surabaya.
Sebagai
sejarawan, Frank secara khusus memang mengumpulkan catatan-catatan perjuangan arek-arek
Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan. Keberanian rakyat Surabaya
melawan Sekutu itulah yang membuat Frank tergerak untuk menerbitkan hasil
buruannya tersebut dalam buku berjudul Surabaya 1945; Tanah Keramat.
''Saya
sudah ke Indonesia pada 1961 saat masih 21 tahun,'' ujar Frank mengawali
cerita.
Entah
mengapa, dia mengaku terikat secara emosional dengan Indonesia. Saat itu, dia
menerima beasiswa dari Yayasan Sisa Lokantara untuk kuliah di Jurusan
Jurnalistik Universitas Indonesia dan Jurusan Indonesian Studies Universitas
Padjadjaran Bandung.
Selama
kuliah itulah Frank menyambi menjadi foreign correspondent to South East
Asia atau koresponden asing untuk beberapa kantor berita dan surat kabar di
Australia. Dia juga memimpin Djakarta Foreign Correspondent Club (DFCC) pada
1965.
Kecintaannya pada
dunia tulis-menulis menggerakkan Frank untuk melihat lebih dalam tentang
sejarah Indonesia. Latar belakang sebagai seorang jurnalis membuatnya bergaul
dengan banyak tokoh penting negeri ini. Sebut saja Presiden Soekarno, D.N.
Aidit (tokoh PKI), dan Jenderal A.H. Nasution.
Frank sempat
bertemu langsung dengan tokoh pejuang dari Surabaya, Ruslan Abdulgani. Saat
itu, Ruslan sedang berceramah di Universitas Indonesia (UI) mengenai tujuh
paham pokok Indonesia. Frank juga menghadiri pidato Soekarno di Lapangan Ikada,
Jalan Medan Merdeka, Jakarta.
Banyak kisah unik
selama dia bergaul dengan para tokoh tersebut. Misalnya, saat Ruslan menyadari
ada seorang mahasiswa asing yang menghadiri ceramahnya. Di antara dua ribu
mahasiswa UI kala itu, keberadaan Frank terlihat mencolok. Apalagi dia duduk di
barisan terdepan. ''Dia menyapa saya dan mengajak diskusi,'' ungkapnya.
Di antara para
pejuang, Frank paling teringat pada Soekarno. ''He's a magician,''
tegasnya. Soekarno mampu ''menyihir'' Frank dan para pemuda lain yang
mendengarkan pidatonya. Mereka rela menempuh perjalanan berkilo-kilometer dari
berbagai kampung terpencil hanya untuk mendengarkan pidato Sang Proklamator itu
menyalakan semangat rakyat untuk membangun negara.
Begitu pentingnya
sejarah pertempuran Surabaya 1945, pria yang meraih Australian Winston
Churchill Fellow itu sampai menuliskannya dalam buku Surabaya 1945; Tanah
Keramat. Manuskrip buku itu disusun mulai 2007 dan selesai pada 10 November
2011. Dia berharap catatan sejarah tersebut bisa dibaca para pemimpin saat ini.
Sejarah dalam
buku Tanah Keramat merupakan penuturan asli para pelaku sejarah. Salah
satu yang digambarkan dengan detail adalah peristiwa heroik 10 November 1945.
Saat itu, tentara Sekutu membombardir Kota Pahlawan. Di pihak lain, Komandan
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Surabaya Mayjen Sungkono mengumpulkan para
prajurit. Dia mengingatkan bahwa belum tentu mereka akan kembali melihat sang
surya esok hari.
''Beliau
menyatakan akan mempertahankan kota, meski sendirian,'' ujar Frank. Kisah
tentang Mayjen Sungkono dalam buku Frank itu diambil langsung dari 100 notes
peninggalan pahlawan pejuang Surabaya tersebut.
Ketertarikan pria
kelahiran 1940 itu untuk menulis tentang Surabaya muncul karena alasan kuat. Menurut dia, kota tersebut menjadi free
citizen pertama di Indonesia. Surabaya juga menjadi tempat lahirnya gerakan
kemerdekaan pertama, yaitu Sarekat Islam.
Setelah
proklamasi, sejumlah kota seperti Bandung dan Semarang berhasil ditundukkan
tentara Inggris. Bahkan, Presiden Soekarno terpaksa meninggalkan Jakarta. Hanya
Surabaya yang bertahan. Satu-satunya daerah yang bebas dari penjajah asing.
Kisah diawali
pada 27 Agustus 1945, sepuluh hari setelah proklamasi. Tentara Sekutu mulai
menguasai kampung-kampung di Surabaya. Pada 30 Agustus, rakyat Surabaya
membunuh 600 tentara Inggris. Itulah kekalahan terbesar pertama yang paling
memalukan bagi Inggris.
Presiden Soekarno
dijemput Inggris dan diminta untuk menyerukan gencatan senjata kepada seluruh
rakyat Indonesia. Tanggal 1–9 September disebut masa menjelang datangnya badai
atau awaiting the hurricane. Inggris membawa lebih banyak pasukan
lengkap dengan pesawat pengebom.
Gubernur Jatim
Suryo dan Residen Sudirman tidak tinggal diam. Warga Surabaya menanti keputusan dua pemimpin itu.
Pertempuran kecil terus terjadi. Puncaknya, komandan tentara Inggris Brigjen
Mallaby tewas terbunuh di tangan pejuang. Tentara Inggris sangat marah. Muncul
ultimatum bahwa Surabaya akan dibumihanguskan. Gubernur Suryo pada 9 November
pukul 22.00 berpidato akan bertahan sampai akhir.
''Gubernur Suryo
pidato lewat RRI, 'Lebih baik hancur daripada dijajah lagi','' ujar
Frank. Perjuangan arek-arek Suroboyo itu menyebar ke daerah lain di
Indonesia. Menjadi lambang perlawanan terhadap penjajah dan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan.
Pria yang saat
ini tinggal di Perth, Australia, itu juga mengungkapkan kisah lucu lainnya.
Yakni, proklamasi yang dikabarkan dalam bahasa Madura. Saat itu, kantor Radio
Surabaya (sekarang RRI) dijaga Kampeitai, tentara Jepang. Untungnya,
mereka tidak tahu bahasa yang digunakan pembaca berita Radio Surabaya
Djakfar Brotoatmojo yang memberi tahu rakyat Surabaya tentang proklamasi
kemerdekaan di Jakarta itu.
Pada 22 Agustus,
warga Surabaya mendapat kabar proklamasi tersebut. Mereka lalu turun ke jalan
sambil melambaikan puluhan ribu bendera Merah Putih di jalan-jalan. Hari itu
kemudian dikenal sebagai ''Hari 50.000 Bendera''.
Frank
mengungkapkan, sejarah yang ditulisnya berasal dari sumber otentik. Yakni, 777
catatan harian, buku kenangan, dan wawancara para veteran. Ada pula yang
dicarinya langsung dari arsip militer Inggris di London dan Belanda. Termasuk
dari memoar Suhario Padmodiwiryo, mahasiswa pejuang yang dikenal sebagai
''Hario Kecik''.
''Pokoknya, 90
persen asli dari orang yang melihat langsung peristiwa itu,'' tegas bapak dua
anak itu.
Menurut Frank,
banyak kisah unik selama bertemu para tokoh pejuang Indonesia. Apalagi dialah
satu-satunya wartawan asing yang mengerti bahasa Indonesia. Karena itu, dia
dipercaya Bung Karno untuk menjadi penerjemah bagi para tamu asing serta
anggota korps diplomatik.
Suatu saat, dia
diminta menerjemahkan ucapan Bung Karno di hadapan tamu asing. Apes, Frank
berbicara terlalu cepat sehingga kalimat yang belum dilontarkan Bung Karno
sudah diterjemahkan. Spontan,
presiden pertama Indonesia itu menyela, ''Saya belum sampai di situ!''
Dalam bukunya,
Frank juga menyebut banyak pahlawan yang tidak dikenal penulis asing. Misalnya,
Gubernur Suryo, Kolonel Sungkono, dan tiga serangkai Suryo-Arnowo-Sudirman. Ada
pula Isa Edris, pahlawan muda yang memimpin banyak serangan untuk menyita
ratusan senjata dan kendaraan Jepang. Termasuk seorang kiai misterius dari Jalan Blauran yang berjalan kaki
menuju pusat pertempuran dengan bom berjatuhan di sekitarnya.
Selain sejarah
Indonesia, Frank menulis sejarah Vietnam dalam bukunya Riding The Devils.
Judul itu bermakna ''menghilangkan mimpi buruk''. Judul tersebut diambil dari
kisah yang membuatnya terus bermimpi buruk. Sebab, Frank adalah satu-satunya
jurnalis yang selamat dalam kejadian pembunuhan lima jurnalis asing di Vietnam
pada 1968. Dua puluh tahun setelah peristiwa itu, Frank kembali ke Vietnam. Dia
bertemu sekretaris perdana menteri dan meminta pembunuhnya ditangkap.
''Pemerintah
Vietnam bilang kejadian itu salah paham. Kami memakai mobil dengan lambang
CIA,'' ujar suami Alison Palmos itu.
Sepulang dari
Indonesia, Frank bertugas di Vietnam. Selanjutnya, dia melanjutkan karir
sebagai jurnalis di AFP, Washington Post, dan surat kabar Inggris
serta Singapura di Australia. Selama di Indonesia, Frank pernah bekerja sebagai
koresponden di Jawa Pos.
Dia menyebut
banyak kenangan selama menjadi ''orang'' Surabaya. Setiap dua jam sekali selalu
disediakan teh untuk dia. Dulu setiap hari warga bergerombol membaca koran pagi
di sebuah papan tulis yang dipajang di kantor lama Jawa Pos, Jalan
Kaliasin. Papan itu ditempeli
lembaran koran gratis bagi yang mau membaca.
Frank belajar
bahasa Indonesia dari dua imam masjid di Bandung dan Tasikmalaya. Dia bahkan
ikut puasa dan makan kurma. Dia juga menyukai novel-novel lawas Indonesia
seperti Siti Nurbaya dan Layar Terkembang. Frank bahkan
mendatangi rumah sang pengarang, Sutan Takdir Alisjahbana.
''Saya bertamu ke
rumahnya di Jakarta. Ternyata, istri beliau orang Australia,'' ucapnya.
Frank is a historian and former journalist who established the forst foreign newspaper bureau in Indonesia in 1964, Frank caused a bit of interest during his recent visit to Surabaya to promote his new book Surabaya 1945: Sacred Territory. This article appeared 1 June in the Jawa Pos.
No comments:
Post a Comment